Jumat, 21 Mei 2010

SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF TIMUR

SUMBER ILMU PENGETAHUAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT TIMUR

Makalah ini diajukan sebagai tugas pada
mata kuliah : Filsafat Ilmu dan Metode Berpikir

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Cecep Sumarna, M.Ag.








Disusun oleh:

ABDUL KHOLIK
NIM 505920035



KONSENTRASI : PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (PPI) SEMESTER-1

PROGAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2010

A.PENDAHULUAN
Perbedaan paradigma pengetahuan mangakibatkan orientasi keilmuan yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas nilai (value free).
Memang tidak disangsikan teknologi sebagai hasil ilmu pengetahuan telah meningkatkan produktifitas dan menghapuskan rintangan ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan mampu mengungkap rahasia tentang alam, benda-benda, termasuk usaha mencari kausalitasnya. Tetapi di saat yang bersamaan teknologi menyebabkan pemusatan kekuasaan yang sangat besar dan dehumanisasi.1
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan. Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”. Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah mendominasi pemikiran dunia. Sehingga muncul persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga persoalan yang berdampak pada lingkungan, sosiologis, psikologis dan sistem nilai.
Tidak hanya itu medernisasi sebagai dampak positif dari science melahirkan “adzab modernisasi”, manusia merasa asing, hampa, kering, sunyi dalam keramaian, dari hiruk pikuk kehidupan.
Bahkan dalam kajian Cecep Sumarna dalam “Melacak Jejak Filsafat” disamping telah melahirkan beberapa keunggulan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul paham-paham yang dianggap memiliki resiko dalam system (system nilai dan etika) kehidupan yaitu paham relativisme, hedonisme, Skeptikisme, Materialisme dan atheisme.
Pendekatan agama (orientasi Theocentris) dasarnya sudah berjalan semenjak manusia diciptakan. Memang ada sejarah kelam bila mengkaji hubungan antara para “pemuka agama” dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunduran dunia timur – Islam dianalisis karena munculnya kejumudan, fanatisme madzhab dan berpusatnya kekuasaan “Central Power” dengan berbagai pola dan gaya hidupnya. Apalagi bila mengkaji hubungan agama dan filsafat, ada konfilk yang runcing antara agamawan dengan ilmuwan. Pada akhirnya pentas dunia didominasi oleh peran ilmu pengetahuan- scientific yang rasioanalis-empiris. Lahir konsep pemisahan antara science dan agama , dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia.
Dari latarbelakang di atas berarti harus ada pendekatan lain mengenai persoalan ilmu pengetahuan. Ketika “alam ide” ( rasionalitas ) dan empiris-realis sebagai sumber ilmu pengetahuan saja untuk menjawab “kebutuhan manusia”, maka muncul pendekatan yanga lain yaitu pendekatan relegius terhadap persoalan ilmu pengetahuan.




















B.PEMBAHASAN
Sebagaimana disiplin ilmu yang akan menjadi fokus kajian yang dikaitkan dengan penelitian yang akan dijadikan sebuah disertasi maka perlu mengetahui kajian dalam dunia filsafat ilmu sebagai pisau analisisnya yang terdiri dari Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi. Dimana ketiga hal tersebut saling memiliki keterkaitan dan keterikatan dan keterbatasan. Fungsi dan tugas pokok filsafat ilmu antara lain adalah mengembangkan ilmu, memberikan landasan filosofik untuk memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu maupun membekali kemampuan membangun teori ilmiah. Subtansi kajian filsafat ilmu adalah antara lain mengenai kenyataan, kebenaran, tingkat kepastian atau konfirmasi, dan logika inferensi. Ontologi adalah objek apa yang dikaji sebagai akar ilmu, Epistimologi bagaimana cara mengkaji objek tersebut sebagai pondasi keilmuan dalam mencari kebenaran objek dari suatu disiplin ilmu (bagaimana cara memperoleh ilmu) yang akan melahirkan metodologi penelitian, dan Aksiologi bagaimana menggunakan hasil kajian tersebut.
Untuk lebih memahami darimana sumber ilmu pengetahuan itu diperoleh maka kita perlu memahami pengertian ontologi, epistimologi, dan aksiologi. ketiga hal tersebut pengertianya adalah sebagai berikut:
1. Ontologi
Ontologi dalam bahasa Latin adalah ontologia, artinya sesuatu yang betul-betul ada. Dalam bahasa Yunani ont, ontos, artinya ada, atau keberadaan, logos artinya studi atau ilmu tentang. Menjadi ontologos, artinya kajian tentang hakikat yang ada, atau teori ilmu pengetahuan yang mengungkapkan tentang hakikat segala sesuatu yang ada.
2. Epistimologi
Epistimologi pada intinya membicarakan tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Berasal dari kata Yunani yaitu episteme, artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos artinya juga pengetahuan atau informasi. Jadi dapat dikatakan epistimologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan. Ataudakalanya disebut “teori pengetahuan”, dan adakalanya disebut filsafat pengetahuan (Loren Bagus, 1996: 212).
3. Aksiologi
Louis O. Kattsoff (1992: 327) mendefinisian aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu. Di dunia ini terdapat banyak pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistimologi. Estetika berhubungan dengan masalah keindahan, etika berhubungan dengan masalah kebaikan, dan epistimologi berhubungan dengan masalah kebenaran. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis tersebut adalah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistimologi dari nilai-nilai itu (Kamus Filsafat Tim Penulis Rosda, 1995: 30). Atau aksiologi berarti kajian terori umum yang menyangkut dengan nilai, atau suatu kajian yang menyangkut segala sesuatu yang bernilai (Bagus, 1996: 33).
Sumber Ilmu Pengetahuan dalam persfektif timur
Pengetahuan Dalam Presfektif Masyarakat Relegius bahwa Ilmu pengetahun berasal dari Allah melalui panca indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari “berita Agung ” yang benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intiusi yang terformulasi dalam wahyu, sabda/hadits, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.
Masyarakat relegius mengkombinasikan metodologi rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan dari sisi masyarakat religius tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu pengetahuan yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas ilmu pengetahuan. Kaum empirisme bersumber pada pengalaman empiris-realistis sedangkan kaum relegius menambahkan bahwa sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari wahyu dan intuisi (Ilham, firasat dan wangsit ).
Dari perbedaan sumber ilmu pengatahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda. Bila ilmu pengetahuan positivisme harus sistematis dan terukur berdasarkan empiris dan rasional, tetapi kebenaran intuisi “wahyu” tidak harus dibuktikan dengan realitas empiris. Kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi “boleh” dibuktikan dengan metodologi “iman”.
Sebenarnya “Wahyu dan Intuisi” bisa dibuktikan dengan rasionalitas dan empiris namun karena keterbatasan akal pikiran manusia, kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan waktu. Karena orang agamawan melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat fisik material dan psikis-spritual .Mungkin pada saat ini belum diketemukan sisi-sisi kebenaran dokrin agama karena ” akalnya belum taslim” namun pada saat yang akan datang dengan sarana ilmu pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi dengan konsep-konsep relegius yang tertulis dalam kitab suci. Kitab suci yang bertahan dan keorsinilannya bisa dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para saintifik modern.
Bagi agamawan (semua agama samawi) ada tiga hal yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama.Pertama siapakah yang menciptakan (percaya pada Tuhan). Kedua tujuan akhir kehidupan manusia kemana (orientasi akherat). Ketiga darimana mendapatkan informasi, mencari petunjuk tersebut tentang Tuhan ( percaya pada nabi dan rasul)
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme .
Cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam prespektif agamawan yaitu berasal dari wahyu-intuisi melalui proses kerja panca indera dan akal, atau sebaliknya melalui penemuan-penemuan empiris-rasional lalu dipadukan, diklarifikasikan dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi menjadi perantara dan merupakan dasar penyusunan pengetahuan ini. Sehingga tolak ukur dari pengetahuan dalam pandangan relegius adalah “believe or not believe”. Dengan demikian pandangan relegius dimulai dari rasa percaya kemudian melalui proses pengkajian keilmuan pada akhirnya akan menemukan pengetahuan yang semakin percaya atau semakin menurun. Berbeda dengan kajian ilmu sains yang berawal dari ketidakpercayaan, keraguan dan kekosongan setelah melalui proses kajian ilmiyah baru bisa diyakinkan atau tetap berada dalam pendirian semula.
Pengetahuan (persepsi) itu secara garis besat terbagi menjadi dua yaitu “konsepsi” (at-tashawwur) atau pengetahuan yang sangat sederhana, pengetahuan yang tanpa penilaian, penangkapan sesuatu tanpa menilai obyek tersebut dan kedua “tashdiq” (assent atau pembenaran) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian dan penjelasan).18 Bagi kaum teologis manusia memiliki dua sisi, pertama sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Kedua adalah sisi spritual atau nonmateri yang merupakan pentas aktivitas akal dan mental. Dua sisi ini saling mempengaruhi termasuk didalamnya juga mengenai persoalan pengetahaun. Materi dan spritual tidak ada jurang pemisah yang selama ini digaungkan oleh kaum meterialis tetapi keduanya memiliki hubungan. Meskipun nonmaterial, ia memiliki hubungan material.
Sejarah pemikiran Islam mencatat terdapat tiga cara memperoleh ilmu pengetahuan, pertama metode bayani, yaitu cara memperoleh pengetahuan terhadap bathin teks baik Al-Qur’an maupun hadits. Metode ini lebih mementingkan otoritas teks sedangkan fungsi akal adalah sebagai pengawal terhadap pemahaman yang eksoterik.Kedua metode irfani, yaitu model berfikir berdasarkan pengalaman langsung terhadap realitas spiritual. Irfan diperoleh melalui penyingkapan sinar hakekat (Kasyaf) setelah melalui berbagai riyadloh yang dilakukan atas dasar cinta. Ketiga metode burhani, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada kekuatan rasio-akal dengan menggunakan dalil-dalil logika .
Dalam presfektif Al-Qur’an telah dijelaskan mengenai dua pendekatan ilmu pengetahuan-sciance, yaitu pendekatan dzikir (wahyu-intuisi). pendekatan Fikir (rasional-empiris) yang mengamati ayat kauniyah. Kedua pendekatan ini dapat dilhat dengan jelas dalam surat Ali Imron 190-191
       •                         • 
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Ulil albab (orang yang memiliki akal pikiran, intelektual,ilmuwan) adalah mereka yang menggunakan dan memadukan potensi dzikir (konteks wahyu-intuisi) dan potensi fikir (konteks rasio-realis). Bila manusia terjebak dalam penggunaan rasio-logis dalam memahami ayat-ayat Allah yang “kauniyah” maka muncul kecenderungan materialis-atheis. Sebaliknya jika terjebak hanya berkutat pada aktivitas dzikir maka akan menjadi panthaiesme yang skeptis.
Ilmu segala sesuatu itu berasal dari Allah yang mengejawantah (profan) ke dalam ayat Kauniyah dan Al-Quraniyah, ayat yang tersirat dan ayat yang tersurat. Ayat kauniyah (cosmos) berupa realitas empiris. Ayat Al-Quraniyah lebih menekankan metode bayani dibarengi dengan irfani dan burhani. Tetapi bisa juga menggunakan metode positivistik untuk memahami kandungan “kitab suci” yang sacral namun harus diiringi dengan rasa keberagamaan sehingga mempertebal keimanan.
Nabi menangis ketika menerima surat Ali Imron ayat 190-191 ini. Sampai-sampai Bilal bertanya : mengapa Engkau menangis ya Rasulullah?, bukankah segala dosa Engkau yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?. Nabi menjawab apakah Aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur (عبد ا شكو را (Aku menangis karena khawatir pada umatku yang membaca ayat ini tetapi tidak pernah memikirkan isi kandungannya dan mengerjakan yang tersirat padanya.
Betapa pentingnya mempelajari, menggali, mengeksplorasi ayat-ayat Tuhan baik yang berdimensi aqliyah berupa alam raya maupun yang berdimensi naqliyah wahyu-kitab suci. Pengungkapan rahasia-rahasia alam bagi manusia relegius mempunyai “nilai ibadah” Sehingga ucapan terahkir manusia beragama adalah : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron ayat 191 ).
Masyarakat relegius, agamawan atau mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap “pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual

Sumber Ilmu Pengetahuan menurut Saintis Islam
Alam ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia. Alam yang memiliki hukum yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan manusia. Karena hukum alam itulah manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam dan mengadakan pengembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi dan kualitas alam, secara bertahap dapat dikuasai dan diatasi manusia .
Hukum alam dan Al-Qur’an bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara kaitan tersebut, Al-Qur’an memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang akan datang, yang belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga memberikan informasi peristiwa masa lampau yang hanya diketahui oleh kalangan yang sangat terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli dan terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat, Al-Qur-an juga memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk melakukan kajian atau pembahasan suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya (tawakuf) serta menyerahkan segala urusanya kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui kajian dan penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan kebesaran akan menunjukkan kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali’Imran ayat 190 dan 191 yang tertulis diatas tadi.
Di kalangan ilmuan muslim, banyak sekali penemuan ilmuan yang orisinal (sebagai hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern, termasuk yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuan barat. Para ilmuan muslim, terutama yang muncul pada masa keemasan islam (abad ke 7-13) banyak memberi kontribusi pada perkembangan sains modern, seperti bidang kimia, optika, matematika, kedokteran, fisika, astronomi, geografi, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam
Kalau dibarat ilmu pengetahuan beranjak dari “premis kesangsian”, maka dikalangan agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari “premis keimanan”, suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang absolute itu hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya menafsirkan wahyu tersebut. Al-qur’an dan As-Sunah yang sahih mempunyai tingkat kebenaran absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu fiqih dan lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammad Talhah Hasan, 2006: 39)
Allahlah sumber segala ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu yang dikuasai manusia selama ini sangat terbatas dan sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Tuhan telah memberikan ilmu-Nya kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya seperti malaikat, dengan beberapa cara seperti dengan ilham, instink, indra, nalar (reason), pengalaman dan lain sebagainya. Atau dengan istilah lain, melalui penelitian dan survey, juga melalui penelitian laboratories, dan ada juga yang melalui kontemplasi/perenungan yang tajam dan melalui informasi wahyu yang diterima para Rasul Allah. Itu semua merupakan cara-cara yang digunakan oleh Allah untuk memberi ilmu pengetahuan, informasi, kemampuan nalar dan kecakapan kepada manusia, tetapi sumbernya tetaplah Allah.
Cecep Sumarna mengatakan, bahwa dikalangan filosof dan saintis muslim berkembang sebuah pemikiran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu. Bagi umat islam hal itu termanifestasi dalam bentuk Al-Qr’an dan As-Sunah. Sumber Al-Qur’an ini bukan hanya mendampingi sumber pengetahuan lain, misalnya sumber empiris yang faktual/induktif dan rasional/deduktif. Al-Qur’an bahkan dapat dianggap pemegang otoritas lahirnya ilmu. Dalam perspektif islam, alam menjadi sumber empiris pengaruh modern, adalah wahyu Tuhan juga. Ia adalah symbol terendah dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan sekaligus Maha Qudus. (Cecep Sumarna; 2008:111). Selain empiris dan rasional, sumber ilmu pengetahuan yang lain adalah intuisi dan wahyu. Melalui intuisi manusia mendapati ilmu pengetahuan secara langsung tidak melalui proses penalaran tertentu, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang didapati melalui “pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang disebut Rasul dan Nabi.
Ahmad tafsir mengatakan, bahwa menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datang dari Allah, sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal, dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolute, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari indra kebenarannya tidak mutlak. ( Ahmad tafsir; 2008: 8)
Bagi orang islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang dari Allah. Sumber pertama itu sekarang ini adalah Al-Qur’an atau hadits Rasul. Demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan tersebut tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa baru diantara keduanya itu. Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar dari pada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961). .
C. KESIMPULAN
Masyarakat relegius, agamawan atau mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap “pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.
Di kalangan ilmuan muslim, banyak sekali penemuan ilmuan yang orisinal (sebagai hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern, termasuk yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuan barat.Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya.Selain empiris dan rasional, sumber ilmu pengetahuan yang lain adalah intuisi dan wahyu. Melalui intuisi manusia mendapati ilmu pengetahuan secara langsung tidak melalui proses penalaran tertentu, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang didapati melalui “pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang disebut Rasul dan Nabi.
Ahmad tafsir mengatakan, bahwa menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datang dari Allah, sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal, dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolute, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari indra kebenarannya tidak mutlak. Bagi orang islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang dari Allah. Sumber pertama itu sekarang ini adalah Al-Qur’an atau haditsRasul.









DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 19996Baktiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafondo Persada, 2004
Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu, Bandung: Mulia Press, 2008
_____________ Rekonstruksi Ilmu dari empiris-Rasional Ateistik ke Empiris-Rasional-
Teistik.BandungBenangMerah.2005.

____________ Melacak Jejak Filsafat. Bandung: Sangga Buana,2006.

Syadali, Ahmad, Dkk, Filsafat Umum, Bandung; CV. Pustaka Setia, 2004
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Pengantar Populer, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Tafsir, Ahamad, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008
Thalhah Hasan, Muhammad, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press. 2006
Abdul Halim Mahmud. 2003. Al-Qur’an fi Syahril Qur’an (terjemah), Tadarus Kehidupan di Bulan Al-Qur’an. Yogyakarta : Madani Pustaka Press.
Shah.A.B 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Husen Al-Habsy.1987. Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPPI)
Abdullah M. Amin .1999. Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?., Yogyakarta : PustakaPelajar.
Maurice Bucaille. 2000. Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an,Sains. Bandung :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar